Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Artikel Hukum Kedokteran BPJS Terbaru

Hubungan Hukum Antara Pasien Dengan Dokter
Seorang pasien yang merasakan sakit, pasien menjelaskan tentang kehendak untuk berobat, karena terdapat gangguan ditubuhnya. Dokter berkeinginan untuk merawat pasien dan berusaha merawatnya. Setelah pasien menyetujui pemeriksaan dirinya, maka dokter mengadakan diagnosa yang selanjutnya ditetapkan terapinya, umpamanya pasien harus dibedah karena menderita usus buntu.
Dokter menjelaskan tentang diagnosa terapi yang dipilih dan cara pengambilan tindakan. Selanjutnya dokter menjelaskan tentang resiko {baik yang secara langsung maupun sampingannya}, penderitaan sakit maupun ketidaknyamanan, beberapa alternatif lain dan prognosa. Setelah pasien memahami penjelasan dokter, maka pasien mempertimbangkan dan memutuskan menyetujui atau menolak.

Zero Problem Bukan Zero Komplen
Proses tersebut dianggap lancar, akan tetapi, bagaimana jika terjadi hal-hal yang tidak lancar, apalagi setelah proses tersebut selesai? Lalu pasien yang tidak puas atau keluarga pasien yang tidak puas, komplain dan mengambil langkah-langkah hukum? Masyarakat Indonesia semakin melek terhadap hukum kesehatan walaupun ke depan BPJS bertekad zero problem, tetapi bukan berarti zero komplain loh.

Beberapa Kasus

1. Kasus berdasarkan perjanjian.
Guru besar gastroenterologi diundang oleh suatu kelompok dokter yang melanjutkan pendidikan untuk berdiskusi disuatu rumah sakit. Beberapa kasus gastrointertinal dan hasil-hasil rontgen disajikan dan didiskusikan. Salah satu dokter tersebut yang merawat pasien menyajikan status pasien itu.
Guru besar berpendapat bahwa indikasi kasus pembedahan. Berdasarkan pendapat guru besar tersebut, dokter itu merekomendasikan kepada dokter ahli bedah. Pembedahan tersebut dilakukan dan menghadapi komplikasi.
Pasien menuntut berdasarkan alasan bahwa guru besar itu menjadi penasehat dan karena kelalaian. Guru besar tersebut membantah, karena dia tidak ketemu pasien itu, apalagi merawat pasien tersebut. Dengan demikian tidak terdapat perjanjian, karena tidak ada kewajiban dari guru besar tersebut.

2. Kasus kelalaian pasien.
Pasien menikah lagi bulan Juni dan pindah ke rumah jalan L. Anak-anaknya tinggal di ibunya di rumah lama. Pada bulan Agustus, pasien menelepon Dr. W {nomor tersebut di buku telepon} dan berkonsultasi mengenai kontrasepsi.
Pasien menyatakan bahwa dia dan suaminya bekerja di suatu perguruan tinggi di sini. Untuk memasang kontrasepsi, dokter mengambil pap smear dan mengirimkan ke laboratorium. Setelah mendapat hasil {kurang lebih 2 minggu}, maka terdapat indikasi penyakit.
Dokter tersebut mencoba menghubungi pasien melalui telepon berkali-kali mengenai hasil-hasil laboratorium dan bagaimana saran tindaknya. Dia mencoba manghubungi perguruan tinggi tersebut, mengidentifisikan pasien itu sebagai sekretaris dan suaminya sebagai akuntan, namun dia tidak bekerja di perguruan tinggi itu.
Dokter mencoba menghubungi alamat Jalan L, akan tetapi pasien pindah dan tidak ada telepon. Pada bulan Desember, Dr. W dapat menghubungi ibu pasien dan kalau dapat pasien menelpon ke kantor dokter. Pasien tidak menghubungi dokter pada bulan Januari, ketika pasien membayar biaya jasa medis.
Dokter tersebut dapat menghubungi pasien dan menjelaskan mengenai hasil tes pap smear serta terdapat tanda-tanda penyakit. Biopsi menyatakan tanda kanker. Pasien menuntut, karena dokter lalai menjelaskan tentang keadaan kesehatan dan pasien harus segera dioperasi. Tentunya dokter membantah, karena pasien yang alpa karena menunda perawatan
3. Kasus kelalaian penjelasan pasien
Pasien dan temanya ditahan oleh polisi. Kedua orang tersebut merupakan ketergantungan heroin dan terdapat gejala-gajalanya serta diperlukan obat-obat. Mereka dimasukkan ruang darurat rumah sakit dan menyatakan bahwa mereka ketergantungan, kepada dokter tersebut. Dokter menanyakan apakah pasien masuk klinik methadone dan pasien mengikuti program tersebut 4 bulan. Mereka keluar, karena terdapat sumber heroin lain.
Kedua pasien dan temanya terdapat tanda atau gejala sindrom. Kepala pasien menunduk karena berat, memegang bawah perutnya dan menderita perut sakit. Pandangan matanya kabur, badanya gemetar dan mulai sempoyongan. Dokter memberikan obat yaitu 40 mg methadone; temanya pulih, akan tetapi pasien tersebut bersikap agresif dan membenturkan kepalanya ke tembok.
Pasien menginginkan lebih banyak methadone, karena ia merasa sakit. Setelah 30 menit, dokter memberikan 40 mg methodanelagi;baru setelah itu pasien pulih. Setelah itu, polisi memasukkan pasien ke sel. Hari berikut, pasien tersebut meninggal di sel. Berdasarkan otopsi, pasien meninggal karena keracunan obat yang berlebihan.
Pasien tidak menjelaskan keadaan yang sebenarnya kepada dokter. Sebetulnya, pasien tersebut bukan ketergantungan dan mengikuti program methadone. Akan tetapi, temanya benar-benar tergantungan heroin. Sewaktu ditahan, pasien minum bir dan kapsul Librium. Pasien tidak menjelaskan sebenarnya kepada tenaga kesehatan rumah sakit. Dokter dituntut oleh keluarga pasien berdasarkan lalai, akan tetapi pengadilan menolak tuntutan tersebut, karena pasien lalai.
4.Kasus pasien belum dewasa
Seorang remaja wanita berumur 17 tahun, tinggal di luar rumahnya dan orangtuanya menanggung biaya sekolah. Dia tinggal bersama seorang wanita yang menanggung akomodasi tersebut, dan wanita itu melakukan pekerjaan ringan sebagai pembantu wanita tersebut.
Remaja itu berkonsultasi dengan dokter ahli bedah. Remaja tersebut ragu-ragu mengenai pendapatnya walaupun dia mengalami operasi. Operasi berhasil dan remaja merasakan manfaat bagi kesehatannya. Akan tetapi, orang tuanya menuntut kepada dokter ahli bedah tersebut. Pasien itu menyetujui, akan tetapi perjanjian tersebut tidak sah, karena usia pasien belum dewasa.
5. Kasus kematian otak
Tanpa penyebab, seorang remaja berhenti bernapas selama 15 menit lagi. Akibatnya pasien menderita kerusakan otak, yaitu keadaan vegetatis. Walaupun otaknya mampu menggerakkan fungsi reflek, ia tidak mempunyai fungsikognitif atau kesadaran tentang lingkunagnnya. Akan tetapi bukan gejala kematian otak. Dengan demikian pasien hidup dikendalikan oleh segi-segi hukum dan medis.
Para ahli kedokteran berpendapat bahwa tidak mungkin pasien terus hidup. Pernapasanya dibantu respirator; para ahli kedokteran percaya bahwa pasien tidak dapat melangsungkan kehidupan.
Ayahnya meminta keputusan pengadilan untuk mengakhiri fungsi respirator. Menurut pengadilan, pasien mengalami kecelakaan dan mengakibatkan ketidakmampuan kelangsungan kehidupan. Kehidupan fisik menjadi keadaan debil dan tergantung pada mesin yang menghidupi badanya.
Bagi orang-orang lain yang menghadapi penderitaan kerusakan otak, hingga mereka dalam keadaan tidak mampu berdasarkan faktor tersebut, pengadilan memutuskan bahwa fungsi respirator harus dihentikan. Juga berdasarkan keadaan yang sama tersebut, lebih baik mengajukan kematian yang alamiah. Dengan demikian, pengadilan memutuskan substitusi keputusan oleh karena keputusan perwalianya sesuai dengan yang diasumsikan bahwa pasien cakap.
6.Kasus kelalaian dokter
Pasien mnderita cidera, karena jatuh sewaktu bekerja. Yang bersangkutan dirumah-sakitkan dan hasil diagnosa, tulang sikunya patah. Selanjutnya dari hasil rontgen terdapat gangguan pada tulang belakang. Akan tetapi, dokter tersebut tidak menjelaskan pada pasien mengenai cidera pada punggungnya dan dokter tidak mengharuskan perawatan khusus. Dokter menyatakan bahwa tidak ada cidera di punggung dan tidak menganjurkan untuk membatasi kegiatan-kegiatan pasien.
Setelah keluar dari rumah sakit, pasien bekerja lagi; walaupun dia bekerja ringan, masih sakit. Setelah itu, pekerjaan meningkat menjadi 8 jam. Walapun pasien menderita karena kesakitan di punggung, dia tidak menyadari bahwa punggungnya cidera. Setelah 7 bulan, punggungnya cidera lagi, karena membantu mengangkut lift. Karena cidera, maka harus dioperasi;akibatnya terjadi kelumpuhan.
Pasien menuntut, karena dokter terdahulu tidak mejelaskan keadaannya. Juga dokter tersebut lalai menjelaskan tentang kemampuan fisik akibat cidera.
7. Kasus pasien mental
Selama dirawat, pada seorang pasien remaja timbul keinginan mencekik petugas rumah sakit. Oleh karena rumah sakit, tidak mempunyai sarana meredam pasien yang berbahaya, pasien dipindahkan ke fasilitas psikiatri, dan diagnosa adalah Schizophrenia.
Selama beberapa minggu pasien diobati obat penenang dan anti depresan. Akan tetapi pasien tetap menyerang petugas rumah sakit dan pasien-pasien lainya, sehingga pasien-pasien lain harus berdiam di kamar. Dokter percaya bahwa terdapat hambatan proses perawatan pasien tersebut dan pasien harus dirawat terapi electroschok. Dokter mencari persetujuan dari ibu pasien dan dia menyetujui tentang perawatan psikiatri.
Psikiater memeriksa pasien tersebut dan menganjurkan pengobatan, akan tetapi pasien tidak pulih, dan diperiksa berdasarkan terapi electroschok. Karena anjuran tersebut, dokter mengikuti perawatan tersebut. Pasien tersebut juga belum sembuh dan dokter itu memeriksa berdasarkan terapi electroschok. Mewakili anak laki-laki tersebut, ibunya menuntut dokter, karena perawatan tidak sah karena hak kesendirian{privacy}.
Demikianlah beberapa kasus mengenai hubungan antara pasien dan dokter. Hubungan antara pasien dengan dokter didasarkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang serasi. Mengenang, biasanya mungkin dokter lalai; akan tetapi, pasien juga lalai. Selanjutnya, pasien juga menanggung beberapa resiko, misalnya kecelakaan, resiko tindakan medis dan kesalahan penilaian