Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengapa juru sembelih harus shalat?

Shalat bukan sekadar ritual formal—ia adalah tantangan nyata bagi setiap Muslim dewasa untuk mengukuhkan keimanan, menjaga hubungan dengan Allah SWT, serta menjaga kredibilitas praktik ibadah dan muamalah sehari-hari. Ketika menyangkut penyembelihan hewan—apakah untuk kurban atau konsumsi—hal ini menjadi lebih serius karena terkait hak umat dalam mendapatkan daging yang halal serta sah dalam syariat.

1. Shalat sebagai prasyarat keimanan

Dalam sebuah artikel di KonsultasiSyariah disebutkan bahwa al-Qur’an menyebutkan pelaku yang tidak shalat sebagai sebab utama mereka memasuki neraka. Serta terdapat hadits bahwa: 

"Sesungguhnya antara seseorang dan syirik serta kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim)
Artinya: Pelaksanaan shalat merupakan indikasi nyata bahwa seseorang berada di dalam kapabilitas beriman yang memadai untuk melakukan ibadah-ibadah penting lainnya, termasuk penyembelihan yang sah.

2. Kriteria juru sembelih dalam syariat

Menurut artikel tersebut, salah satu syarat kehalalan sembelihan adalah bahwa penyembelihnya adalah “Muslim” yang memenuhi syarat agama. Ia menyebut: sembelihan dari non-Muslim (selain Ahlul Kitab) atau dari orang yang murtad (karena meninggalkan shalat dianggap kufur) maka tidak sah. 
Dari sini: juru sembelih yang rutin tidak shalat, menurut penulis, bukan hanya melalaikan ibadahnya, tetapi “keluar dari Islam” menurut sebagian besar ulama karena meninggalkan shalat dengan sengaja hingga waktunya habis. Maka, hasil sembelihannya menjadi diragukan kehalalannya.

3. Tasmiyah, adab penyembelihan, dan integritas pelaksana

Penyembelihan hewan secara syar’i mensyaratkan pelaksana yang memahami dan menjalankan adab: menyebut nama Allah pada saat sembelih, menggunakan pisau tajam, potong cepat, dan lainnya. Artikel KonsultasiSyariah mengutip Ibnu Utsaimin:

“Orang yang tidak shalat, apabila menyembelih, dagingnya tidak boleh dimakan… karena haram.” 
Maksudnya: praktik penyembelihan bukan hanya soal teknis, melainkan juga soal kondisi spiritual pelaksana. Bila kondisi spiritual (ibadah shalat) tidak ada, maka kredibilitas ibadah sembelihan menjadi bermasalah.

4. Implikasi praktis bagi konsumen dan penyembelihan halal

Bagi konsumen Muslim, penting memastikan bahwa juru sembelih adalah orang yang menjalankan shalat sebagai tanda ketaatan. Karena begitu syarat dasar keimanan dan ibadah pokok tidak terpenuhi, maka potensi ketidak-sah-an muncul. Artikel tersebut menegaskan bahwa “jagal yang tidak shalat” maka “sembelihannya haram”. 
Bagi penyelenggara RPH atau kurban, disarankan memilih juru sembelih yang diketahui pelaksanaan shalatnya, agar proses menjadi lebih terjamin secara syariat.


Penutup

Dengan demikian, dapat difahami bahwa:

  • Pelaksanaan shalat mencerminkan kondisi keimanan yang menjadi tolok ukur sahnya ibadah-ibadah lain, termasuk penyembelihan.

  • Juru sembelih yang tidak melaksanakan shalat secara sengaja hingga waktu habis, menurut artikel di Konsultasi Syariah, berada dalam posisi yang sangat rawan dari sisi syariat penyembelihan.

  • Oleh sebab itu, bagi umat Muslim yang menggunakan layanan penyembelihan (kurban atau konsumsi), adalah bijak untuk memastikan kredibilitas juru sembelih—termasuk pelaksanaan shalatnya.

Semoga artikel ini bermanfaat sebagai bahan pemahaman dan pengingat. 

literatur
Jasa Aqiqah Banyumas Purwokerto
Konsultasi Syariah